BUDAYA TRADISI MALAM SATU SURO

02.59 Unknown 0 Comments

BUDAYA TRADISI MALAM SATU SURO

A.    Pendahuluan

1.    Latar Belakang
Malam satu suro merupakan salah satu ritus tahunan yang hampir setiap tahun dirayakan oleh sebagian masyarakat Jawa, khususnya pada masyarakat Jawa yang berada di daerah Yogyakarta, Surakarta, dan Solo. Malam satu suro merupakan suatu pergantian tahun pada penanggalan Kalender Jawa. Sama halnya dengan tahun baru pada umat Islam yang dimulai dengan tanggal 1 Muharram tahun Hijriah atau sama halnya dengan tahun baru Masehi yang dimulai pada tanggal 1 Januari Tahun Masehi. Malam 1 Suro sangat berarti bagi orang Jawa, karena tidak saja memiliki dimensi fisik, perubahan tahun tetapi juga mempunyai dimensi spiritual. Orang Jawa yakin bahwa perubahan tahun Jawa bertepatan dengan tahun Hijriyah, menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis. Pada dasarnya Orang-orang Jawa menjalani ritual malem 1 Suro dengan berbagai maksud, yang utama adalah mengharapkan perubahan hidup yang lebih baik di tahun akan datang yang akan dijalaninya.

2.    Tujuan

1)    Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan budaya malam satu syuro
2)    Untuk mengetahui apa arti penting dari malam satu syuro
3)    Untuk menjelaskan seperti apa saja ritual malam satu syuro tersebut

B.    Pembahasan






Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro di mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam). Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

     Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain. Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di zaman setelah Nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.

     Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin “menyatukan Pulau Jawa.” Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul. 3

1 Syura adalah awal tahun Muharam, tahun Islam yang telah ditranskulturisasi dengan tradisi ritual Jawa kuno. Karaton Mataram menerima dan mengembangkan ide transkulturasi terutama sejak Sultan Agung dari Karaton Yogyakarta. 1 Syuro menjadi bagian penting dari sebuah siklus kehidupan manusia.

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.

Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu. Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.


    Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya.

Tradisi lainnya adalah Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, Yang paling mudah ditemui di Jawa khususnya di seputaran Yogyakarta adalah Tirakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit. Di antara tradisi tersebut ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan malam satu suro sebagai saat yang tepat untuk melakukan ruwatan.


 


















Selain itu juga, bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu. Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.


















Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta, Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi ini.



















Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis.

Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.

Wayang Kulit Semalam Suntuk
Tradisi dan warisan budaya jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting, khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.
















Cepuri Parangkusumo
Merupakan area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan. Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk.

Kirab Pusaka Kraton
Setiap malam 1 muharam atau terkenal malam satu Suro , maka kraton Solo akan menggelar ritual Jamas dan Kirab Pusaka Kraton, ikut serta juga dalam acara kirab tersebut beberapa ekor kebo bule ( Kerbau ) yang di juluki Kebo Kyai Slamet . Acara kirab pusaka ini berangkat dari kraton Solo tepat pada jam 12 malam dan mengelilingi beberapa jalan protokol di kota Solo dengan di iringi oleh punggawa istana dan para pasukan istana. Upacara ini di gelar untuk menghormati dan sekaligus memperingati Bulan Suro ( Muharam ) .

Kegiatan Kirab ini hingga sekarang selalu menjadi salah satu momentum yang paling meriah di kota Solo , dan selalu menarik minat masyarakat kota Solo pada khususnya untuk melihat dan mengikuti prosesi ini . Banyak juga masyarakat di sekitar kota solo , bahkan dari luar kota dan para turis asing sangat antusias mengikuti acara tradisional tersebut .

Apabila upacara kirab yang di ikutkan di dalamnya Kebo kyai slamet tersebut benar benar sangat di tunggu oleh masyarakat . Acara yang sudah menjadi kegiatan rutin Kraton solo tersebut , selainkan menampilkan mitos dan legenda kebo kyai slamet , juga bermacam macam keris dan tosan aji istan lainnya yang di arak keliling dengan sebuah prosesi upacara spiritual dan kental sekali dengan budaya Jawa .















C.    Penutup

Ritual satu suro tahunan merupakan ritual yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Dan pada umumnya setiap peringatannya dirayakan dengan meriah. Begitu juga halnya dengan ritual malam satu suro merupakan ritus tahunan masyarakat Jawa yang dianggap sebagai tahun baru kalender Jawa atau secara tidak langsung merupakan tahun baru masyarakat Jawa. Pada umumna dilakukan ritual – ritual seperti kirab pusaka, tapa bisu, kungkum, tirakatan atau pagelaran wayang kulit, nyekar di Cepuri Parangkusumo, Kethoprak Lesung Tamba Lara, ruwatan, jamasan atau memandikan benda pusaka, dan selamatan. Semua ritual bertujuan untuk bersyukur dan mengahrapakan keadaan yang lebih baik lagi d tahun yang baru. Peringatan 1 suro bertepatan dengan 1 muharam pada kalender umat islam yakni kalender Hijriah.





You Might Also Like

0 komentar: